Pandemi, Ketakutan, dan Masa Depan Manusia

Cut Meurah Rahman
7 min readMay 3, 2021
Photo by Sincerely Media on Unsplash

Pandemi bukanlah hal baru dalam sejarah umat manusia. Banyak kasus serupa yang terjadi berabad-abad lalu, namun ketika itu terjadi kembali di abad modern manusia seolah tidak benar-benar sanggup menghadapinya. kita benar-benar tidak siap menjalani semua hal-hal baru yang terjadi mengubah seluruh rutinitas yang biasa kita jalani. Disatu sisi bumi seperti menemukan harmonisasinya kembali. Udara yang biasanya dipenuhi polusi kendaraan bermotor kini perlahan kian membaik.

Aku mulai menyadari bahwa akibat manusia tidak bisa menjaga keseimbangan dengan alam, sekarang kita yang harus menyeimbangkan diri dengan alam sekali lagi. Manusia dengan keserakahannya ikut terlibat mengubah prinsip keseimbangan bumi. Selama pandemi hidupku berubah drastis tidak hanya sebatas karena harus menerapkan protokol kesehatan. Tapi ketika aku mulai menyadari pentingnya peduli dengan isu-isu lingkungan dan keanekaragaman.

The Sixth Extinction dan The Selfish Gene

Cover depan buku Kepunahan Keenam dan The Selfish Gene

Aku memahami ketidakjelasan ini ketika aku mulai membaca buku-buku saintifik yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Buku pertama yang kubaca ialah The Sixth Extinction atau Kepunahan Keenam karya Elizabeth Kolbert (KPG 2020). Berangkat dari Menghilangnya spesies katak emas di kota El Valle de Anton di Panama. Kolbert juga mengunjungi Museum-museum Purba di Paris, Islandia, Italia, hingga kunjungannya ke Skotlandia dan tempat-tempat lainnya untuk mencari tahu keberadaan makhluk hidup yang sudah punah. Kolbert juga yakin bahwa suatu saat nanti spesies manusia juga akan mengalami kepunahan seperti yang terjadi dengan makhluk hidup lainnya. Ketika aku merenung sejenak dan berpikir, kelihatannya sains modern sangat pesimistis terkait masa depan. Tapi harus dipahami bahwa jika keadaan kita sekarang masih seperti ini; banyak buang sampah sembarangan, pembakaran hutan, dan aktivitas lainnya yang mengganggu keseimbangan bumi maka kepunahan tersebut bisa pasti terjadi.

Ketika Covid-19 merebak pertama kali pada akhir Desember 2019. Aku mulai mencari tau tentang sejarah wabah dan kaitannya dengan vaksin. Saat perkuliahan diumumkan akan dilaksanakan via daring. Banyak teman-temanku yang pulang ke kampung halaman. Saat itu aku merasakan gejolak ketakutan dan kekhawatiran yang menjadi-jadi. Aku bahkan menerka-nerka skenario terburuk yang akan terjadi nantinya. Sebagai orang asing (aku pelajar di Turki), kami harus tetap menunggu keputusan dari pihak asrama tempatku tinggal terkait kejelasan nasibku ini. Benar saja, keadaan terburuknya aku dan beberapa mahasiswa asing lainnya harus dipindahkan ke asrama yang agak jauh dari keramaian. Asrama yang dulu akan segera dijadikan tempat karantina bagi orang-orang yang baru tiba dari luar negeri. Saat itu aku mulai lega, namun seminggu kemudian kami dipindahkan lagi ke asrama yang jauh lebih terpencil dari asrama sebelumnya. Tentu, ini sedikit membuatku resah. Beberapa hari berikutnya kasus positif Covid-19 menyebar cukup cepat, masyarakat disuruh untuk tetap berada di rumah. Kota tempat tinggalku bak kota mati. Ketika aku memutuskan keluar untuk membeli barang-barang keperluan, banyak orang yang melihatku dengan mimik wajah yang tidak senang dan penuh ketakutan. Seolah-olah aku adalah penyebar virus tersebut.

Aku mulai mengisolasi diriku sendiri di dalam kamar. Sambil mengikuti pembelajaran daring, tidak banyak yang bisa kami kerjakan selain bersabar dan menunggu keputusan-keputusan lain yang keluar dari mulut pengambil kebijakan. selama itu aku mulai memfokuskan diriku untuk melakukan hal-hal positif. Selain menghabiskan waktuku dengan menggambar aku mulai melanjutkan rasa keingintahuanku dengan membaca buku-buku yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Buku selanjutnya yang aku baca ialah The Selfish Gene karya Robert Dawkins (KPG 2018). Dalam buku ini Dawkins berpendapat bahwa yang mempengaruhi evolusi manusia ialah gen yang ada dalam spesies tersebut. Dawkins juga berpendapat bahwa gen ini bersifat egois untuk dapat mendorong terbentuknya suatu organisme. Sebelumnya ada dua tokoh penting yang pendapatnya saling mendukung dalam perkembangan teori evolusi modern, ia adalah Charles Darwin dan Gregor Mendel. Darwin menggunakan istilah survival of fittest untuk menggambarkan proses seleksi alam sedangkan Mendel berhasil mengungkapkan keterlibatan genetik yang mendasari terjadinya evolusi.

Aku tidak hanya membaca buku ini tapi ikut mendengarkan ulang diskusi yang pernah diadakan oleh Kepustakaan Populer Gramedia di channel YouTube mereka. Dalam diskusi tersebut Dr. Ryu Hasan diundang menjadi narasumber dalam bedah buku yang diadakan 2019. Jauh sebelum wabah ini menyebar. Selama pandemi ini aku berusaha membuat pola pikir menjadi mindset scientific. Awal-awal pandemi menyerang ada banyak orang yang menganggap wabah ini adalah kebohongan semata. Untuk itu sudah sepatutnya bagaimana peran sains harusnya bisa membumi, masyarakat harus dapat berpikir secara ilmiah dan menghindari berita-berita yang tidak benar.

Awal-awal saat pandemi berlangsung, keingintahuanku berkaitan dengan sains sangat tinggi. Sehingga aku membaca beberapa buku lainnya yang saling berhubungan dengan kehidupan manusia seperti bukunya Sapiens dan Homo Deus karya Yuval Noah Harari, The Magic of Reality karya Richard Dawkins dan buku fiksi The Plague karya Albert Camus.

The Death of Expertise dan The Righteous Mind

Cover depan buku Matinya Kepakaran dan The Righteous Mind

Akibat Pandemi aku sering berselancar di sosial media hanya untuk sekedar menghibur diri atau tetap up to date dengan keadaan kampung halaman. Memang tidak bisa dipungkiri di era disrupsi digital kemajuan teknologi tidak bisa dihindari dan kemudahan akses ke berbagai informasi pun jauh lebih mudah.

Namun jikalau kemajuan tersebut tidak diiringi dengan pengetahuan akan berakhir sia-sia. Aku sering menemukan teman-temanku menyebarkan informasi tidak benar terkait wabah ini. Ada yang percaya bahwa wabah ini buatan dari negara-negara yang memiliki kepentingan, ada juga yang percaya bahwa vaksinasi hanya akal-akalan pemerintah semata. Semua orang bisa berpendapat sesuai pikirannya masing-masing. Namun sayangnya, pendapat tersebut tidak diiringi fakta yang benar. Aku merujuk pada buku yang dulu pernah kubaca, The Death of Expertise atau Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols (KPG 2018). Bagian dimana aku benar-benar tercengang ialah ketika Nichols menjelaskan akibat dari penolakan bantuan obat-obatan HIV di Afrika Selatan menyebabkan 300 ribu orang meninggal dunia. Ini diakibatkan pesan bohong yang disebarkan oleh orang yang tidak percaya HIV/AIDS pada 1990-an.

Jujur selama pandemi aku berhadapan dengan banyak orang-orang seperti ini. Di satu sisi aku jengkel tapi di sisi yang lain aku berkeinginan memberitahu mereka hal sebenarnya. Meskipun hal tersebut berakhir sia-sia dan aku dicela sebagai orang yang ‘sok tau’.

Tidak lama setelah itu aku terus menyelaraskan proses kehidupanku dengan pandemi ini. Hingga suatu hari ketika sedang menonton Stand Up Comedy, Pandji Pragiwaksono ia menyebutkan satu buku yang membuatku tertarik untuk membacanya. Buku itu ialah The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (KPG 2020). Awalnya aku pribadi merasa cukup berat untuk memulai membaca buku terkait Psikologi Moral ini. Namun karena rasa penasaran begitu besar akan pertanyaan “Mengapa manusia bisa terpecah belah oleh perbedaan pandangan politik?” Aku berusaha sebaik mungkin mencari jawabannya disini. Buku ini menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan nilai moral maka akan lebih mudah disatukan. Misalnya orang-orang yang memiliki kesamaan agama, suku, dan lainnya. Heidt juga menjelaskan untuk bisa bekerja bersama mereka yang berbeda dari kita, harus mempunyai empati yang besar pula. Kita harus melihatnya secara lebih besar seperti hidup di lingkungan, negara, hingga sedang menghadapi wabah yang sama untuk dapat saling bekerjasama.

Dua buku diatas cukup membantu logika berpikirku selama Pandemi agar tetap waras. Seringkali orang tidak bisa menerima perbedaan dan berakhir saling cela-mencela satu sama lain. Dua buku ini juga menghindariku dari logical fallacies saat berargumentasi.

Fahrenheit 451 dan The Memory Police

Cover depan buku Fahrenheit 451 dan The Memory Police

Selama isolasi mandiri berlangsung, aku beruntung mempunyai klub baca buku “Chill Reader” yang beranggotakan empat orang. Kami sering mengadakan diskusi literasi dengan tema yang berbeda-beda tiap minggunya. Untuk menghindari reading slump solusi yang tepat ialah kita harus memiliki orang dengan minat yang sama agar saling menyemangati.

Sebenarnya ada banyak buku fiksi yang telah kubaca seperti karya-karyanya Orhan Pamuk, Fyodor Dostoyevsky, Albert Camus, Ryunosuke Akutagawa dan beberapa penulis Indonesia seperti Budi Darma, A.A. Navis, dan Arafat Nur. Namun kali ini aku ingin membahas dua buku yang cukup menyita perhatianku terkait pembredelan. Buku Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury (Elex Media, 2013) mengangkat isu pembredelan buku dan The Memory Police karya Yoko Ogawa (GPU, 2020) membahas terkait pembredelan ingatan.

Fahrenheit 451 menceritakan seorang pemadam kebakaran bernama Montag yang telah bekerja selama 10 tahun namun suatu hari bertemu dengan gadis kecil yang mengubah cara pandang hidupnya. Iya biasanya ditugaskan untuk membakar buku-buku yang ia jumpai. Namun kemudian ia berubah pikiran tidak menyukai pekerjaannya dan malah secara diam-diam menyimpan beberapa buku sebagai koleksi pribadi. Ia bertemu dengan banyak orang seperti ilmuwan, sejarawan dan lainnya. Sebenarnya secara garis besar buku ini bertujuan untuk mengkritik orang-orang totalitarian di Amerika Serikat namun jika kita melihat konteks buku ini di masa sekarang buku masih ada pembredelan yang kerap kira temukan. Bradbury menulis buku ini ini dengan konsep yang sangat menarik dan metafora yang digunakan sangat halus namun punya makna kuat.

Buku yang pernah kubaca selama pandemi lainnya ialah The Memory Police. Menceritakan tentang kehidupan di suatu pulau dimana Polisi Kenangan ditugaskan untuk memberangus semua ingatan masyarakat. Tokoh utama dalam buku ini tidak dijelaskan secara gamblang namanya namun ia bekerja sebagai seorang penulis. Ia bersama editornya bernama R akhirnya menyusun siasat untuk bersembunyi ke dalam ruang bawah tanah bersama beberapa orang lainnya yang masih menjaga ingatannya. Suatu hari terjadi gempa besar yang membuat tempat persembunyiannya diketahui oleh Polisi Kenangan. Novel ini secara eksplisit menjelaskan tentang keterlibatan kontrol pemerintah kepada masyarakat.

Begitulah buku-buku yang kubaca selama isolasi mandiri ini. Bahkan saat tulisan ini ditulis, aku sedang mengalami lockdown selama hampir tiga minggu lamanya. Ada banyak pembelajaran yang bisa aku dapatkan di tengah keadaan yang sebenarnya sedang tidak memihak siapapun. Beberapa buku berhasil membuatku berpikir ulang tentang tujuan kehadiran manusia sendiri di dunia ini. Aku jadi lebih menghargai perbedaan, menghargai keanekaragaman, dan menginginkan keseimbangan dapat terjalin dengan baik. Menurutku perubahan yang terasa sangat berguna bagiku selain perubahan fisik maupun visual adalah aku mendapatkan asupan yang baik untuk otakku dengan buku-buku yang mengubah pola pikirku menjadi lebih baik.

Beruntung akses membaca buku bahasa Indonesia yang berkualitas sekarang jauh lebih mudah dengan adanya Gramedia Digital. Semua buku yang kubaca diatas dapat diakses melalui platform tersebut.

Terakhir, aku ingin mengutip quote dari salah satu penulis kesukaanku. Orhan Pamuk.

“I read a book one day and my whole life was changed.”

Orhan Pamuk, The New Life

--

--

Cut Meurah Rahman

A writer, historian, and observer — I’m a philosopher of my thoughts.