Göbeklitepe: Sejarah Awal Keberadaan Peradaban Umat Manusia

Cut Meurah Rahman
6 min readNov 20, 2021
Photo by Cut Meurah Rahman

Pada 8 Maret 2019, setelah menyampaikan pidato kenegaraannya dalam rangka Hari Perempuan Sedunia. Presiden Recep Tayyip Erdoğan kemudian melanjutkan peresmian situs prasejarah Göbeklitepe di kota Şanliurfa. Situs prasejarah yang dideskripsikan sebagai “Titik Nol dalam Sejarah” ini mengundang antusiasme besar dan menjadi magnet bagi mengundang wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Turki. Erdogan mengatakan, situs ini mempunyai kontribusi besar terhadap kekayaan budaya umat manusia. “Göbeklitepe telah menjadi referensi penting dalam hal menunjukkan kedalaman akar peradaban di tanah Anatolia. Dengan peresmian ini maka Göbeklitepe telah resmi menjadi tanah air keluarga manusia.” Ujarnya saat membuka peresmian situs prasejarah tersebut.

Pasca ditetapkan Göbeklitepe sebagai Warisan Budaya UNESCO pada 2018. Göbeklitepe menjadi pembahasan utama para arkeolog. Mulai dari majalah, buletin, jurnal, maupun media online telah menjadikan Göbeklitepe sebagai highlight utama laporan mereka. Wartawan Guardian, Kevin Rushby (2012) mengatakan, “Göbeklitepe suatu hari nanti akan dikenal oleh tiap anak sekolah dasar dan menjadi pusat pariwisata penting layaknya Piramida Mesir,” Ungkapnya dalam Eastern Turkey’s Ancient Wonders (2012)

Göbeklitepe berada 15 kilometer dari pusat kota Şanliurfa dan Harran, terletak di wilayah tenggara Turki. Aleksander Agung dari Makedonia, murid Aristoteles, dulunya menamakan tempat ini sebagai Edessa untuk mengenang tanah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Urfa dan Harran juga merupakan dua kota magis tempat munculnya agama dan mitos. Banyak peradaban didirikan dan dihancurkan di sini, seperti Sumeria, Asyur, Babilonia, dan Kasdim kuno. Bahkan Nabi Ibrahim sebagai tokoh suci agama samawi sekalipun lahir dan menghabiskan 75 tahun hidupnya di kota ini.

Sinyal Keberadaan Göbeklitepe

Photo by Cut Meurah Rahman

Situs ini ada dalam pemukiman paling kuno dataran atas Mesopotamia dan termasuk ke dalam wilayah Bulan Sabit Subur. Istilah wilayah Bulan Sabit Subur pertama kali dipopulerkan oleh James Henry Breasted (1865–1935) dari Universitas Chicago untuk menggambarkan wilayah yang berbentuk sabit terbentang dari pegunungan Atlas di Anatolia, semenanjung Sinai, dan gurun Sahara di Mesir. Di kaki pegunungan-pegunungan ini juga menjadi habitat alami spesies biji-bijian liar seperti gandum, barley, dan kacang-kacangan seperti lentil, kacang polong dan buncis. Selain itu wilayah ini diberkati dengan adanya sungai utama seperti Eufrat dan Tigris.

Sinyal awal terdeteksinya reruntuhan ini terjadi pada tahun 1963. Sekelompok arkeolog dari Universitas Chicago dan Universitas Istanbul saat melakukan kunjungan rutin ke Şanliurfa. Para arkeolog ini saat berada 10 kilometer dari pusat kota menemukan sebuah pohon murbei yang berdiri sendiri di antara medan kosong. Penduduk setempat menyebut pohon tersebut sebagai “pohon harapan.” Saat para arkeolog melihat pohon tersebut, mereka menyadari ada sebuah bukit kecil yang memiliki tekstur tanah yang berbeda dan setelah diteliti mereka menemukan beberapa bongkahan batu kapur di bukit tersebut. Para arkeolog dari Universitas Chicago kemudian membuat sebuah laporan dengan mengklaim batu kapur itu hanyalah batu kubur tentara dan pos pengamanan prajurit Romawi Timur. Laporan tersebut ialah sinyal pertama akan keberadaan situs prasejarah tersebut. Namun tidak ada seorangpun yang menaruh serius terkait laporan tersebut.

Sinyal kedua muncul 25 tahun setelahnya, berkat seorang penduduk desa yang tinggal tidak jauh dari tempat reruntuhan itu berada, bernama Avak Yıldız. Ia tidak sengaja menemukan dua benda seperti patung, kemudian ia memutuskan untuk membawanya ke Museum Arkeologi Şanliurfa. Namun Direktur Museum saat itu, Adnan Mısır menganggap bahwa dua patung itu tidak berguna dan menyuruh Avak untuk meletakkannya ke dalam gudang museum. Avak kembali ke desanya tanpa menyadari bahwa benda yang dibawanya suatu hari nanti akan mengubah sejarah umat manusia.

Harapan itu sekali lagi muncul pada 1994, saat Klaus Schmidt menemukan laporan Universitas Chicago secara kebetulan di perpustakaan Institut Arkeologi Jerman di Berlin. Laporan tersebut terjebak pada klaim bahwa tempat ini diperkirakan sebagai pos pengamanan atau kuburan militer. Schmidt terkejut, ia paham betul tentang lokasi daerah itu dan tidak mungkin milik prajurit Romawi Timur. Ia menyadari ada hal yang sangat penting tersembunyi disana. Setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk ke Şanliurfa dan melihat langsung ke bukit kecil di dekat pohon murbei tersebut.

Pada 1994, Schmidt menghabiskan musim gugur melakukan penggalian dengan dibantu oleh beberapa orang saja. Usaha Schmidt akhirnya tidak berakhir sia-sia, sekitar akhir 1990-an beberapa lingkaran muncul di area yang digali. Schmidt semakin yakin bahwa tempat ini memiliki nilai yang tidak terbayang pentingnya. Penggalian terhadap reruntuhan 11.000 SM ini terus dilanjutkan di tengah kondisi cuaca dan medan berat yang harus dilakukan Schmidt. Hingga saat ini penggalian situs Göbeliktepe ini masih terus dilanjutkan meskipun Schmidt telah wafat pada 2014 silam.

Profesor Cihat Kürkçüoğlu dari Departemen Seni dan Sejarah Universitas Harran, mengatakan Patung Venus yang ditemukan pada stela berbentuk “T” di Göbeklitepe dan di gurun Nevali ialah patung tertua di dunia. Kürkçüoğlu mengatakan bahwa penemuan patung-patung kecil di situs tersebut diperkirakan berasal dari 10.000 hingga 20.000 SM. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan di Göbeklitepe berasal dari zaman Neolitikum. Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil babi hutan, rubah dan burung kapur, serta banyak kepala panah yang terbuat dari tinderbox. Menurutnya pahatan batu pada patung yang ditemukan di situs ini merupakan contoh yang sangat estetis dan artistik dari kebudayaan primitif zaman dulu.

Göbeklitepe telah mengubah cara berpikir para ilmuwan tentang periode ini dan proses kelahiran peradaban manusia. Peninggalan arkeologi di Göbeklitepe tidak hanya memberikan informasi tentang manusia periode Neolitikum dalam berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, juga manusia zaman itu mencoba memahami alam dan kepercayaan mereka pada kekuatan mistis dengan cara berkumpul melakukan peribadatan.

Hasil penggalian mengungkapkan bahwa setidaknya ada 20 instalasi yang hingga saat ini telah diekskavasi. Pola yang terlihat dalam sebuah garis melingkar ada dua pilar monumental besar di tengah setiap instalasi, dikelilingi oleh penutup dan dinding. Semua pilar berbentuk T dan tingginya bervariasi, mulai dari tiga hingga enam meter, dengan berat rata-rata sekitar 40 hingga 60 ton. Pada pilar terdapat ukiran binatang serta simbol abstrak, beberapa menggambarkan kombinasi pemandangan. Selain itu ukiran ular, babi hutan, bangau, rubah dan bebek liar dapat dijumpai pada permukaan datar pada pilar-pilar.

Klaim Kuil Peribadatan Tertua

Pada 24 November 2013, diadakan pameran kebudayaan di Pusat Seni dan Budaya Kemalettin Gazezoğlu. Disponsori oleh Doğuş Holding, pameran yang dibuka oleh Menteri Tenaga Kerja Faruk Elik memperkenalan Göbeklitepe sebagai situs kuil pertama di dunia. Pernyataan tersebut didukung oleh para arkeolog yang sepakat dengan fungsi Göbeklitepe dulunya digunakan sebagai tempat peribadatan. Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Schmidt. Ia mengatakan di tempat ini dulunya banyak pemukiman masyarakat pemburu-pengumpul, “Göbeklitepe adalah pusat ibadah bagi orang-orang itu. Para pembangun instalasi adalah yang pertama bertanya ‘apa itu alam semesta?’ dan ‘mengapa kita di sini? Pertama datang kuil, dan kemudian datang kota.” Tulis Schmidt dalam bukunya Taş çağı avcılarının gizemli kutsal alanı: Göbekli Tepe (2007).

Senada dengan yang dikatakan Schmidt, sejarawan Israel, Yuval Noah Harari juga mengungkapkan hal serupa dalam bukunya Sapiens (2011) “Struktur radial selungkup menyimpulkan kemungkinan hubungan antara bentuk geometris lanskap (di bawah bentuk denah mandala) dan ritualitas. Ketika mempelajari denah bangunan keagamaan sepanjang sejarah manusia, kita dapat mengamati hubungan langsung yang ada antara geometri denah dan tindakan manusia yang terstruktur, yaitu ritual.”

Namun tidak semua ilmuwan arkeolog sepakat menyatakan bahwa Göbeklitepe sebagai tempat peribadatan. Dalam wawancara Dr. Lee Clare dari Institut Arkeologi Jerman mengatakan, “Fungsi Göbeklitepe sebagai kuil sangat bermasalah. Istilah ini hanya terdengar sangat mengandai-andai, misalnya, terkait ketidakjelasan keberadaan dewa-dewa yang diyakini manusia masa itu. Padahal buktinya tempat ini dijadikan sebagai tempat perdagangan pada zaman tersebut.” Ungkapnya dalam Unknowns About Göbeliktepe (2019). Menurut Clare, sangat mustahil komunitas di periode Neolitikum pada milenium ke 1- dan ke 9 SM muncul kuil sekaligus tempat perdagangan, tempat seperti itu baru muncul setidaknya pada akhir periode Kalkolitik.

Terlepas dari perbedaan di antara para arkeolog dan sejarawan mengenai fungsi keberadaan Göbeklitepe. Penggalian terhadap situs ini masih terus dilanjutkan dan pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab secara perlahan-lahan akan dapat terpecahkan. Saat ini penggalian yang dilakukan masih baru memenuhi skala 5% dari wilayah yang belum diekskavasi. Masuknya Göbeklitepe sebagai Warisan Dunia UNESCO ini memberikan isyarat masih ada kemungkinan lainnya yang mungkin dapat merubah sejarah keberadaan umat manusia.

--

--

Cut Meurah Rahman

A writer, historian, and observer — I’m a philosopher of my thoughts.