Catatan Milenial Terkait HAM, Media, dan Keadilan Transisi di Indonesia

Cut Meurah Rahman
3 min readApr 17, 2021
Photo by Maria Oswalt on Unsplash

Antara bulan Oktober hingga November lalu Saya terpilih untuk mengikuti “Kursus Online Media, HAM dan Keadilan Transisi” yang diadakan oleh KontraS Aceh, Asia Justice and Rights (AJAR), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, serta Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Sebagai generasi milenial banyak hal yang terasa jauh dari telinga saya terkait persoalan HAM di Indonesia. KontraS Aceh dalam paham akan keresahan bagi sebagian orang, ada sebuah gap antara generasi tua yang belum disampaikan kepada generasi selanjutnya. Cerita dari mulut ke mulut, dari masyarakat yang mengalami penindasan, kekerasan, pemerkosaan hingga penghilangan nyawa paksa masih kurang dibahas di “tongkrongan” anak muda sekarang.

Belajar tentang Keadilan Transisi (Transitional Justice) artinya belajar tentang pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi secara sistematis demi memastikan kejadian tersebut tidak terjadi lagi di waktu yang akan datang. Konsep HAM sendiri itu sudah jauh-jauh hari sudah didengungkan mulai dari Piagam Magna Carta tahun 1215 di Inggris hingga Revolusi Perancis tahun 1789 yang menghasilkan deklarasi terhadap hak-hak individu dan hak-hak kolektif. Istilah penting Deklarasi Perancis ialah liberte, egalite, dan fraternite. Setelah PD II selesai, diadakannya Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948 menghasilkan beberapa poin penting yang hingga kini pasal-pasalnya sudah diratifikasi oleh semua negara menjadi undang-undang.

Lantas setelah itu apakah dunia kembali berjalan baik-baik saja? Tidak! Berbagai pelanggaran HAM dalam segala bentuk terjadi di muka bumi ini, kawan! Di Indonesia konflik bersenjata antara militer dengan kelompok separatis juga memakan korban dari pihak sipil. Belum lagi ratusan ribu hingga jutaan orang mati pada kasus 65. Sampai sekarang jumlah korban itu masih belum pasti, seberapa banyak. Kasus Talangsari di Lampung, Semanggi, Trisakti, pembantaian satu desa di Desa Jambo Kepok di Aceh, kasus kekerasan di Timor Timor, juga kasus-kasus yang masih belum tersentuh di tanah Papua.

Saya mengikuti kursus ini sebanyak 16 kali pertemuan dengan materi dari narasumber-narasumber berbeda tiap pertemuannya.

Materi Media, HAM, dan Keadilan Transisi

Aceh. Selain ganja, Perda Syariah, Tsunami dan kata-kata populis yang sering diucapakan pejabat dan para agamawan disana apasih yang kalian pahami selain itu? FYI, Berdasarkan data dari KontraS ada sekitar 70.000 kasus Pelanggaran HAM di Indonesia dan bumi Seramoe Mekkah menyumbang sekitar 30.000 kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tuntas. WOWW! Angka yang fantastic, fabulous, dan marvelous. Tahukah kalian bahwa 8 dari 13 kasus Pelanggaran HAM Berat itu ada di Aceh. Ini kita masih bicara antara rentan tahun 1974–2005 ya! Masih belum ada penelitian yang pasti terkait kasus 65 di Aceh bagaimana.

Saya sebagai anak muda Aceh. Yang namanya saja sudah menunjukkan jati diri Saya sebagai orang Aceh merasa hal ini sangat penting untuk dipahami. Siapapun itu, mau orang Jawa, Sunda, Sunda Empire, Bugis, Ambon, Flores, Padang dan Papua. Para narasumber yang memberikan materi kebanyakan ialah para aktivis HAM, jurnalis yang meliput ketika Aceh dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sampai penandatangan damai MoU Helsinki antara GAM dan Indonesia.

Media penting untuk kembali mengangkat isu ini dihadapan publik. Bukan ingin mengorek-ngorek kekejaman dan kesalahan di masa lalu. Tapi para korban kekerasan, pemerkosaan saat konflik sampai saat ini masih hidup dan kebanyakan di antara mereka hidup dalam garis kemiskinan. Apakah Pemerintah Indonesia sudah berani menyelesaikan masalah HAM di masa lalu seperti janji Jokowi? Raja Belanda Willem Alexander dengan berani dan penuh penyesalan berani meminta maaf kepada Indonesia atas penjajahan yang mereka lakukan.

Perlu diingat! Mungkin pelanggaran HAM di zaman modern saat ini bukan lagi dalam bentuk kekerasan fisik namun bisa saja dengan membuat undang-undang yang menindas rakyat, undang-undang demi kepentingan para pejabat, parpol dan orang yang haus kekuasaan lainnya. Semua disebut pelanggaran HAM. Saya masih belum benar-benar memahami persoalan konflik di tanah kelahiran saya sendiri, karena ada upaya untuk menghapus ingatan tersebut. Tidak pernah ada pembahasan ini di sekolah-sekolah, di kampus dan sebagainya. Apa yang paling ditakutkan? ketika semua orang merasa bahwa negeri ini aman-aman saja. Ketika kebenaran dihilangkan begitu saja.

Terima kasih untuk KontraS Aceh, AJAR, AJI, dan LBH Banda Aceh.

--

--

Cut Meurah Rahman

A writer, historian, and observer — I’m a philosopher of my thoughts.